’Look at market fluctuations as your friend rather than your enemy; profit from folly rather that participate in it’ (Warren Buffet).
Sejak awal Juni tahun ini, pasar keuangan Emerging Markets kembali mengalami guncangan hebat, ditandai dengan melemahnya nilai tukar, terkoreksinya indeks saham dan turunnya harga pasar obligasi di negara-negara tersebut.
IHSG sempat menyentuh angka tertingginya di level 5,251 sebelum terkoreksi kembali menjadi 4,072 pada akhir perdagangan minggu ini, dan mencatat penurunan 5% dari awal tahun. Begitu pula nilai mata uang rupiah sudah turun sebesar 15% dari awal tahun, sebagai akibat dari pelambatan pertumbuhan ekonomi, berkurangnya cadangan devisa dan melebarnya defisit neraca perdagangan kita
Kondisi yang sama juga dialami oleh India, Brazil, Turki, Philipina, Thailand serta pasar emerging lainnya yang membuat para investor finansial menjadi galau.
Sumber Kegalauan
Apa yang terjadi sebetulnya masih merupakan efek lanjutan dari krisis pasar finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 dan Eropa tahun 2011 yang lalu. Seperti kita ketahui bersama, untuk mengatasi krisis, otoritas keuangan Amerika menggelontorkan bantuan likuiditas yang sangat besar ke pasar, yang penggunaannya tidak hanya di Wall Street saja – tetapi juga terasa merembes ke emerging markets yang memberikan potensi imbal hasil yang lebih tinggi.
Ketika indikator ekonomi Amerika menunjukan pembaikan meskipun belum sepenuhnya pulih, ada pernyataan dari Ben Bernake bahwa ada kemungkinan bahwa The Fed akan mengurangi bantuan likuiditas itu mulai akhir tahun ini. Sehingga dana-dana yang selama ini diinvestasikan di emerging market ditarik kembali ke Amerika. Sejak Juni 2013, tercatat ada penarikan dana obligasi sebesar US$ 20 Milyar ( setara dengan Rp 250 Trilyun) dan US$ 30 Milyar ( Rp 330 Trilyun) dari pasar saham di seluruh emerging markets, mengakibatkan koreksi tajam di pasar yang ditinggalkannya dan mendongkrak nilai tukar US $ terhadap seluruh mata uang dunia.
Secara umum, saat ini para investor keuangan global memang masih menghadapi beberapa risiko yang dihadapi. Dari hasi survey disimpulkan bahwa urutan risiko yang saat ini menjadi kekhawatiran investor adalah :
– Pelambatan pertumbuhan ekonomi China yang mengakibatkan penurunan harga-harga komoditas
– Kelanjutan krisis ekonomi Eropa
– Memanasnya kondisi geopolitik dunia, terutama di timur tengah
– Kebijakan Abenomics pemerintah Jepang yang melemahkan Yen
– Pengetatan kebijakan fiskal Amerika, dan
– Meningkatnya tingkat inflasi
Bagaimana Menyikapi Pasar ?
Bagi para investor yang sudah lama mengikuti pasar finansial, naik dan turunnya indeks, boom and bust, dan bull and bear sudah dialami berkali-kali. Bahkan dapat mengambil pelajaran dan mengambil manfaat darinya. Pada umumnya pasar digerakan oleh harapan dan ketakutan, oleh fear dan greed. Transaksi di pasar finansial dilakukan oleh para pembeli yang berharap bahwa keadaan akan lebih baik pada esok hari dengan para penjual yang takut bahwa esok tidak akan sebaik hari ini. Transaksi antara investor yang berharap untung dengan investor yang takut rugi.
Pada saat harapan lebih tinggi dari ketakutan, pasar naik. Saat ketakutan lebih mendominasi harapan, pasar turun. Pada kedua situasi tersebut, seringkali ada euforia dan kepanikan yang berlebihan, sehingga dikenal istilah overbought (harga pasarnya lebih tinggi nari nilai sebenarnya) dan oversold (harga pasar lebih rendah dari nilai wajarnya).
Sebagian besar lembaga investasi profesional yang menggunakan metode value investing, di dalam proses pengambilan keputusan investasinya, biasanya mengandalkan ukuran nilai wajar dan nilai sebenarnya (intrinsic value) dari sebuah instrumen investasi. Bila dari analisisnya disimpulkan bahwa harga pasarnya sudah lebih rendah dari nilai wajarnya maka diputuskan untuk membeli, begitu pula bila sudah lebih tinggi, akan dijual. Sehingga investor fundamental berpengalaman seperti ini tindakannya berbeda dengan pasar.
Sehubungan dengan koreksi yang terjadi dengan pasar modal kita, valuasi IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) saat ini sebetulnya sudah pada level nilai rata-ratanya selama 10 tahun terakhir, yaitu pada PER (Price Earning Ratio) sebesar 13 Kali, seperti tergambar pada grafik yang bersumber dari Bloomberg ini:
Biasanya, IHSG diperdagangkan pada PER 15 – 16 X, sehingga bagi investor yang menganggap nilai 13 X adalah sudah murah, maka akan mulai melakukan pembelian. Apalagi bila jangka waktu berinvestasinya panjang, kondidi koreksi seperti ini merupakan saat terbaik untuk mengakumulasi saham-saham terbaik dari sektor-sektor usaha terbaik.
Dari data historis sejak 1997, dapat dilihat bahwa dalam jangka menengah – panjang, investor yang melakukan pembelian pada saat terjadi krisis atau koreksi pasar adalah investor yang membukukan potensi keuntungan yang paling tinggi. Grafik IHSG di bawah ini menunjukan krisis yang terjadi pada tahun 1997/1998, tahun 2005 dan tahun 2008. Bila dilihat dari kacamata hari ini, maka krisis-krisis tersebut hanya merupakan koreksi kecil saja.
Dari analisis yang pernah kami lakukan, jangka waktu minimal berinvestasi saham di Indonesia adalah 3 (tiga) tahun, dan semakin panjang semakin baik. Jadi bila kita membeli saham atau reksa dana yang mengandung unsur saham di dalamnya (reksa dana campuran atau reksa dana saham) pada saat koreksi pasar seperti sekarang, dalam 3 tahun ke depan berpotensi memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.
Begitupula yang terjadi dengan jenis investasi di obligasi, dari data historis disimpulkan bahwa saat terbaik membelinya adalah pada saat tingkat inflasi tinggi seperti sekarang:
Pada saat inflasi mulai menurun, biasanya harga obligasi mulai menguat kembali, sehingga mereka yang membeli hari ini berpotensi membukukan imbal hasil yang lebih optimal
Kesimpulan dan Rekomendasi
Menyikapi perkembangan ekonomi dan pasar modal Indonesia, kami menyimpulkan bahwa meskipun dalam jangka pendek menghadapi risiko fluktuasi, dalam jangka menengah panjang masih tetap bullish karena ekonomi kita teta digerakan oleh demografi yang kuat dan produktif; konsumsi rumah tangga, korporasi dan belanja pemerintah; sistem perbankan yang sehat; sistem poitik yang dinamis yang ramah pasar, pro pertumbuhan dan pro penciptaan lapangan pekerjaan.
Bagi investor saham, pilihan terbaik masih pada sektor usaha yang berbasis domestik dan berhubungan erat dengan demografi seperti sektor konsumsi, transportasi, perbankan, telekomunikasi, industri kesehatan, dan infrastruktur. Pilih perusahaan yang memiliki kualitas produk dan jasa yang unggul, memiliki kualitas manajemen dan tata kelola perusahaan yang baik dan teruji serta perusahaan yang memiliki kondisi keuangan yang sehat.
Bagi investor jangka pendek atau mereka yang tidak menyukai risiko tinggi, sebaiknya memilihinstrumen investasi dalam bentuk pasar uang, obligasi dengan tenor pendek, atau produk reksa dana berbasis pasar uang dan obligasi.
Tetap tenang dan selamat berinvestasi secara bijak !
***
Ditulis oleh Agus Yanuar, Presdir PT Samuel Aset Manajemen
Artikel dimuat di Harian Nasional, 8 September 2013.